Yesus mengajar para murid dan pengikutnya dengan analogi garam. Semua orang wajib memiliki identitas dan makna. Sebagaimana garam, memiliki identitas asin, yang bermakna memberi rasa asin kepada makanan yang digarami. “Garam
memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain." (Mrk 9:50). Makna analogi garam adalah semua orang Kristen, pengikut Yesus Kristus wajib memiliki identitas, misal: kasih dan setia, yang bermakna mampu memberi kasih kepada sesama manusia, serta teguh setia kepada Yesus Kristus.
Identitas diri ibarat KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang menunjukkan identitas masing-masing pribadi anggota masyarakat. KTP Kristen tidak saja menunjukkan nama dan agama, tetapi makna dari identitas tersebut. Yesus Kristus adalah sumber kasih, maka pengikut-Nya memiliki identitas kasih, dan terus mampu berbagai kasih dalam kebenaran, yang menjadikan hidup dalam kerukunan dan damai-sejahtera. Ketika menjadi Kristen, namun tidak mampu menunjukkan kasih dan hidup dalam perdamaian, maka identitasnya hambar atau sia-sia, tiada bermakna. Maka, wajib dipulihkan untuk menjadi orang bermakna. Ibarat garam dipulihkan menjadi asin kembali, agar pulih dan bermakna untuk mengasini.
Mampukah warga gereja mewujudkan: “Jadilah garam dalam hidupmu”? Secara jasmaniah bisa menjawab sulit, tidak mampu atau akan saya coba dulu. Tetapi, secara rohaniah memiliki jawaban yang pasti, yakni siap, aku dimampukan, dan menjadi “garam” yang bermakna. Bukankah ada doa dan penyerahan diri? Bukankah ada kuasa Illahi yang menyertai orang beriman? “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yak 5:16). Melalui pertobatan dan saling mendoakan, warga gereja mampu menjadi “garam” yang bermakna bagi sesamanya. Sekaligus, dalam anugerah Yesus Kristus, orang Kristen menjadi “garam” yang sesungguhnya, orisinil, baik.
Menjadi “garam” adalah kualitas hidup. Meski dalam jumlah tidak terlalu banyak, tetapi kualitas hidup ditunjukkan kepada sesama di lingkungannya. Jangan “garam hambar” yang tidak bermakna alias percuma. “Garam” kebaikan yang dibutuhkan untuk hidup dalam kebaikan bersama, “garam” kerukunan menjadi pemicu dan penjaga kerukunan dalam keluarga, rekan kerja, di gereja, maupun di tengah masyarakat. Kualitas hidup dalam tuntunan Roh Kudus yang berlangsung terus-menerus sampai akhir kehidupan.
Pertanyaan Perenungan:
(1) Ratu Ester mengadukan Haman dan dihukum mati oleh Raja Ahasyweros, apakah Ratu Ester bisa dikatakan “garam kehidupan”?
(2) Menjadi “garam” bagi sesama apakah hal yang menyulitkan?
(3) Kebahagiaan apa yang Anda rasakan, ketika menjadi “garam dalam kehidupan“?
Share :