Pernahkah Saudara menjadi orang yang termarjinalkan – disingkirkan, dihindari, atau dipandang sebelah mata? Atau paling tidak, pernahkah Saudara merasa dijauhi, tidak dianggap oleh orang-orang di sekitar Saudara? Kalau pernah, Saudara tidak sendiri! Kita semua tentu pernah merasakan yang sama – walaupun situasi, kondisi, dan kadarnya berbeda-beda. Ada dari kita, yang mengalaminya di lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Ada dari antara kita yang merasakannya di sekolah, kampus, atau di tempat kerja. Bahkan bisa jadi ada yang mengalaminya di gereja! Kita tentu sepakat bahwa perasaan disingkirkan, dijauhi, atau dipandang sebelah mata itu tidak enak, bahkan melukai batin kita!
Karena itulah Rasul Yakobus mengingatkan agar di tengah-tengah jemaat jangan sampai umat saling “memandang muka” terhadap satu sama lain (Yakobus : 1-10). Dalam bahasa kita sehari-hari, istilah “memandang muka” sama dengan “membedakan orang” atau “pandang bulu”. Jangan sampai orang kaya lebih diistimewakan ketimbang yang miskin. Dalam konteks jemaat Kristen pada masa itu, yang notabene adalah jemaat rakyat jelata, terlihat sekali perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin secara penampilan lahiriah. Itu sebabnya, Yakobus mengecam perlakuan istimewa terhadap yang kaya dan pandangan sebelah mata terhadap yang miskin – ia mengibaratkannya seperti seorang hakim yang menghakimi sudah dengan pikiran yang jahat! Mengistimewakan orang kaya – dengan demikian memarjinalkan orang miskin – adalah kejahatan.
Yesus pun memberi contoh bagaimana menyatakan kasih tanpa membedakan orang. Perempuan Siro-Fenisia (perempuan blasteran Yunani-Kanaan yang kerap dijauhi orang) yang anaknya kerasukan setan dipenuhi pengharapannya. Iman, pengharapan, dan kerendahan hati sang perempuan bersambut dengan kasih Yesus yang mengangkatnya dari keterasingannya. Begitu pula seorang tuli dan gagap (yang dijauhi masyarakat karena ketidakmampuannya berkomunikasi dengan baik) dipulihkan martabatnya. Sehingga, orang banyak pun memuji Yesus, “Ia menjadikan segala-galanya baik …” Kasih yang tanpa membedakan orang adalah kasih yang mentransformasi. Kasih yang menjadikan segala-galanya baik. Nah, mari kita belajar mengasihi semua orang – tanpa membedakan orang. Kiranya kita tetap memaknai ibadah yang sejati dengan menghadirkan watak pribadi dan komunitas gerejawi yang tidak bersikap diskriminatif dan permusuhan, melainkan persahabatan dan kehangatan dalam perjumpaan dengan sesama yang berbeda dengan dirinya.
Pertanyaan Refleksi:
1. Kepada siapa kasih Allah itu berlaku?
2. Mengapa kita tidak boleh membedakan orang?
3. Apa yang dapat kita lakukan untuk dapat mengasihi sesama?
Share :